Saya tidak pernah menyangka bahwa analogi pelayaran akan begitu kuat menggambarkan dunia bisnis dan hukum saat ini. Tapi ketika mulai menulis Sail Over Seven Seas, justru dari situlah semuanya berawal. Dari satu lagu pop lawas yang tak sengaja saya dengarkan kembali—Sail Over Seven Seas yang dibawakan Gina T.—saya menemukan cara paling sederhana untuk menjelaskan bagaimana hukum bekerja dalam dunia bisnis digital: seperti kapal yang butuh peta, kompas, dan kesabaran untuk sampai ke tujuan.
Buku ini saya tulis bukan untuk para ahli hukum, melainkan untuk mereka yang sedang membangun bisnis, mengembangkan usaha, atau sekadar ingin tahu bagaimana hukum bisa menjadi pelindung—bukan penghambat. Dunia usaha di era digital itu cepat, liar, dan sering kali tidak memberi waktu untuk berpikir ulang. Tapi justru di situ pentingnya punya fondasi hukum yang kokoh.
Di bagian awal buku, saya mencoba menggambarkan bahwa pelayaran bisnis hari ini tidak lagi soal buka toko dan jual produk, melainkan soal memahami peta global: pajak lintas negara, perlindungan data pribadi, kontrak digital, hak kekayaan intelektual, dan tentu saja, regulasi yang bisa berubah dalam semalam.
Saya sempat menuliskan begini: “Tanpa pemahaman hukum yang solid, sebuah perusahaan bisa terombang-ambing dalam badai regulasi, menghadapi sengketa hukum, atau bahkan tenggelam dalam ketidakpastian aturan yang terus berubah.” Dan itu bukan sekadar kalimat retoris. Sudah terlalu banyak contoh kasus yang membuktikan bahwa bisnis yang tumbuh cepat bisa runtuh lebih cepat hanya karena abai terhadap urusan hukum.
Menulis buku ini juga membuat saya semakin sadar, bahwa dunia digital bukan hanya menawarkan kemudahan, tapi juga jebakan. Banyak pengusaha mengira ekspansi ke luar negeri hanya soal strategi pemasaran dan modal. Padahal, kesalahan dalam memahami pajak di negara tujuan bisa membuat keuntungan habis untuk membayar denda. Saya mengangkat contoh Tesla yang akhirnya memilih membangun pabrik di Tiongkok untuk menghindari tarif impor yang tinggi. Itu bukan hanya keputusan bisnis, tapi keputusan hukum.
Saya juga membahas bagaimana perizinan bukan sekadar formalitas. Uber, misalnya, pernah harus angkat kaki dari beberapa kota besar karena dianggap tidak mematuhi aturan lokal. Kasus-kasus seperti ini memperlihatkan bahwa keberanian ekspansi harus diimbangi dengan kecermatan membaca peta hukum.
Hal lain yang membuat saya gelisah dan akhirnya menuliskannya dalam buku ini adalah betapa banyaknya pelaku UMKM dan startup yang tidak sadar pentingnya melindungi identitas usaha mereka. Merek dagang, desain produk, hingga slogan sering kali luput dari perlindungan hukum. Padahal semua itu adalah aset yang bisa diperebutkan. Apple saja pernah “kalah langkah” di Tiongkok karena nama “iPhone” sudah lebih dulu didaftarkan oleh pihak lain. Akhirnya? Negosiasi panjang dan biaya besar. Pelajaran mahal.
Yang tak kalah penting, tentu saja soal risiko. Dunia usaha selalu punya risiko, dan itu wajar. Tapi risiko hukum bukan sesuatu yang boleh diabaikan. Dari kasus GDPR di Eropa sampai sengketa kontrak di Indonesia, semuanya menunjukkan bahwa hukum bisa menjadi tsunami yang datang tiba-tiba—dan menenggelamkan jika kita tidak siap.
Saya ingat satu bagian yang saya tulis dengan cukup emosional: “Kapal tanpa jangkar akan hanyut terbawa arus.” Bagi saya, jangkar itu adalah legalitas. Kontrak yang kuat, perlindungan merek, kepatuhan regulasi—semua itu yang menjaga bisnis tetap stabil di tengah gelombang.
Tapi bukan berarti saya menulis buku ini dengan gaya menakut-nakuti. Justru sebaliknya. Saya ingin mengajak pembaca untuk lebih santai menghadapi hukum, memahaminya sebagai bagian dari strategi, bukan sebagai beban. Karena sebenarnya, kalau kita sudah punya sistem dan tim hukum yang andal, kita justru bisa lebih tenang dan fokus mengembangkan bisnis.
Menulis buku ini juga membuat saya banyak belajar ulang. Saya menyadari, adaptasi terhadap perubahan regulasi adalah kunci. Dunia berubah cepat. Pemerintah bisa mengeluarkan aturan baru kapan saja. AI, misalnya, sekarang sudah masuk ke hampir semua lini bisnis. Tapi bagaimana regulasinya? Siapa yang bertanggung jawab jika AI membuat keputusan salah? Apakah karya AI dilindungi hak cipta? Pertanyaan-pertanyaan itu belum selesai dijawab. Tapi satu hal pasti: kita tak bisa berpura-pura tidak tahu.
Akhir kata, buku ini saya tulis sebagai bentuk kontribusi kecil di tengah lautan besar yang bernama dunia usaha digital. Saya percaya, seperti pelaut yang hebat tidak lahir dari laut yang tenang, pengusaha hebat juga terbentuk dari badai dan ketegangan yang berhasil dihadapi dengan kepala dingin dan strategi matang.
Semoga Sail Over Seven Seas bisa menjadi peta kecil dalam perjalanan panjang Anda di dunia bisnis. Dan semoga setiap pelayaran yang Anda lakukan—meski penuh gelombang—tetap bisa membawa Anda sampai di pelabuhan impian.