Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar istilah “kecerdasan artifisial” atau AI? Sebagian mungkin membayangkan robot canggih, mobil tanpa sopir, atau film fiksi ilmiah. Tapi bagaimana jika saya katakan: AI sudah hadir di ruang kelas anak-anak kita—diam-diam, tapi pasti? Dari sinilah kegelisahan saya bermula, dan dari kegelisahan itulah lahir buku Kecerdasan Artifisial dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia.
Buku ini bukan saya tulis dari menara gading. Ia lahir dari ruang tanya yang sederhana namun dalam: bagaimana jika teknologi yang kita puja hari ini justru memperlebar jurang ketimpangan pendidikan? Bagaimana jika anak-anak kita lebih dulu mengenal algoritma sebelum mengenal empati?
Salah satu pengalaman yang sangat membekas adalah ketika saya menyaksikan Geoffrey Hinton—salah satu pendiri utama konsep AI modern—berdiri di sebuah konferensi besar di Las Vegas dan berkata dengan nada tenang namun menggugah:
“KA adalah pisau bermata dua.”
Kalimat itu mengendap dalam pikiran saya. Pisau bisa membantu kita bertahan hidup, tapi juga bisa melukai. Begitu pula AI. Dalam pendidikan, teknologi ini bisa membuka akses belajar yang lebih merata, lebih personal, bahkan lebih cepat. Tapi jika tidak diarahkan dengan bijak, ia bisa menggantikan sentuhan manusia, bahkan memperdalam ketidakadilan.
Saya percaya bahwa teknologi yang canggih sekalipun tidak boleh menggeser kemanusiaan. Dalam salah satu fragmen buku, saya menulis tentang seorang perempuan muda yang sedang curhat pada chatbot. Jawaban chatbot-nya lembut, terasa menenangkan, bahkan seolah memahami perasaan si perempuan. Tapi pertanyaannya: apakah itu benar-benar empati? Atau sekadar simulasi kata-kata hasil pengolahan data?
“Deteksi bukanlah pemahaman,” tulis saya dalam buku ini. “Senyuman bisa berarti bahagia, pura-pura, atau bahkan sarkasme. Mesin tidak (dan mungkin tidak akan pernah) memahami nuansa emosi seperti manusia.”
Dalam konteks pendidikan, ini jadi penting. AI boleh membantu guru dalam banyak hal—menyusun materi, mengelola tugas, menganalisis capaian belajar. Tapi AI takkan pernah menggantikan kehangatan, intuisi, dan kebijaksanaan guru. Justru, di era kecerdasan buatan, guru semakin dibutuhkan sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Namun saya juga menyadari, Indonesia punya PR besar. Banyak sekolah kita masih kesulitan akses internet. Banyak guru masih belum diberi ruang untuk memahami teknologi baru. Ada kekosongan regulasi, ada ketimpangan digital yang nyata. Saya tidak menutup mata pada itu. Tapi justru karena itulah, buku ini ditulis—bukan untuk memuja teknologi, tapi untuk mengarahkan penggunaannya.
Saya ingin AI menjadi alat yang adil, bukan hanya efisien. Saya ingin anak-anak dari desa terpencil punya akses belajar yang sama seperti anak-anak kota besar. Saya ingin teknologi memanusiakan sistem pendidikan kita, bukan malah mematikannya. Tapi semua itu tidak akan terjadi tanpa kehendak kolektif: dari guru, kepala sekolah, pembuat kebijakan, hingga orang tua.
Buku ini bukan sekadar panduan teknis atau catatan sejarah. Ia adalah ajakan. Ajakan untuk bersama-sama membentuk arah baru pendidikan kita di tengah badai teknologi yang tak bisa kita hindari. Saya percaya, pendidikan bukan semata-mata soal bagaimana anak bisa cepat menghafal atau menyelesaikan soal. Pendidikan adalah soal membentuk manusia: yang berpikir kritis, peka terhadap sesama, dan mampu bertanggung jawab atas pilihannya.
Di bab-bab akhir buku, saya membahas potensi AI untuk menyederhanakan administrasi sekolah, mengurangi beban guru, hingga mengembangkan sistem pembelajaran adaptif. Tapi di saat yang sama, saya juga menuliskan tantangan-tantangan etik: soal privasi data siswa, soal bias algoritma, dan soal kemungkinan munculnya ketergantungan manusia pada mesin yang dingin dan netral.
Pada akhirnya, AI hanya alat. Yang membuatnya berdampak baik atau buruk adalah nilai-nilai yang kita tanamkan ke dalamnya. Jika kita tanamkan nilai-nilai keadilan, empati, dan kolaborasi, maka AI akan jadi mitra pendidikan yang luar biasa. Tapi jika kita abai, maka AI bisa menjadi bayangan yang menutupi cahaya pendidikan itu sendiri.
Saya berharap buku ini bisa menjadi bahan refleksi, bukan hanya bagi akademisi atau teknokrat, tapi juga untuk para guru di pelosok, orang tua di rumah, dan para pembuat keputusan di balik meja kebijakan. Karena masa depan pendidikan bukan hanya milik para pakar. Ia milik semua yang peduli.
Dan jika suatu hari nanti, anak-anak kita belajar dari mesin, biarlah mereka tetap tumbuh sebagai manusia.