Kalau dulu kita bicara teknologi hanya sebatas “alat bantu”, hari ini kita hidup di tengah teknologi yang berpikir, memutuskan, bahkan memprediksi lebih cepat daripada manusia. Itulah yang saya alami selama menyusun buku ini bersama dua rekan saya—Dr. Abdul Bari dan Henry Panjaitan. Kami tidak sedang menulis mimpi futuristik. Kami sedang menulis kenyataan yang sedang dan akan terus berjalan: AI hadir, dan siap mengganti banyak hal dalam industri penjaminan.
Selama puluhan tahun, industri penjaminan dikenal sebagai sektor yang “prosedural”—banyak dokumen, banyak tahapan, dan sering kali tertinggal oleh dinamika usaha kecil yang butuh kecepatan. Padahal kita tahu, UMKM tidak bisa menunggu lama untuk mendapat akses jaminan. Inilah momen ketika kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar pelengkap, tapi jadi kunci transformasi.
Buku ini berangkat dari keprihatinan dan sekaligus harapan. Kami menyaksikan langsung bagaimana proses bisnis penjaminan bisa menjadi jauh lebih efisien jika dibantu teknologi. Dari penilaian risiko, pengajuan klaim, sampai analisis data pelanggan—semuanya bisa dipercepat tanpa kehilangan akurasi. Bahkan bisa dibilang, justru lebih akurat.
Di dalam buku, kami membahas banyak hal yang sebelumnya jarang disentuh secara spesifik di konteks penjaminan: mulai dari big data, machine learning, chatbot, OCR untuk dokumen jaminan, hingga prediksi klaim dengan AI. Kami juga menyoroti potensi penerapan sentiment analysis di media sosial untuk membaca persepsi publik terhadap lembaga penjaminan.
Salah satu poin penting yang kami sampaikan adalah bahwa AI bukan soal pengurangan tenaga kerja, melainkan penguatan kualitas pengambilan keputusan. AI tidak menggantikan manusia, tetapi membantu manusia berpikir dan bertindak lebih cepat, lebih tepat. Dalam banyak studi kasus di buku ini, kami melihat hasil konkret: efisiensi naik, kepercayaan publik tumbuh, dan layanan kepada UMKM jauh lebih responsif.
Namun, seperti yang kami uraikan dalam bab-bab lanjutan, AI bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah soal data—lebih tepatnya, kualitas dan keamanan data. Banyak perusahaan penjaminan yang belum siap dari sisi infrastruktur dan SDM. Bahkan tak sedikit yang masih memakai sistem lama yang tidak kompatibel dengan platform AI modern.
Kami juga bahas sisi regulasi. Ini penting. Jangan sampai adopsi AI berjalan terlalu cepat tanpa kerangka etika dan hukum yang kuat. Sebab, sebagus apa pun teknologinya, kalau tidak taat regulasi, akhirnya akan menciptakan risiko baru. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan, dalam hal ini, sudah mulai membuka jalan lewat berbagai regulasi baru—seperti POJK No. 34/2024 tentang SDM dan teknologi keuangan.
Buku ini hadir bukan hanya untuk akademisi dan praktisi penjaminan, tetapi juga untuk para pengambil keputusan yang sedang merumuskan arah transformasi digital lembaga mereka. Kami ingin menunjukkan bahwa transformasi bukan hal mustahil, asalkan disiapkan dengan strategi yang jelas, pelatihan yang terarah, dan visi jangka panjang yang kuat.
Kami menyelipkan kutipan dari World Economic Forum dan Accenture, yang menyebut bahwa penerapan AI bisa meningkatkan produktivitas hingga 80% dan kepuasan pelanggan hingga 57%. Tapi bagi kami, angka-angka itu bukan sekadar statistik. Di lapangan, peningkatan produktivitas itu berarti UKM bisa tumbuh, pengangguran bisa turun, dan ekonomi bisa lebih merata.
Satu hal yang saya tekankan: semua perubahan besar selalu dimulai dari keberanian untuk mencoba. AI tidak akan sempurna di awal, tetapi justru dengan mulai mencoba, kita bisa belajar dan beradaptasi.
Dalam kata pengantar buku ini, Pak Krisna Wijaya menyebut, “Semua sulit sebelum menjadi mudah.” Kalimat itu menjadi penutup terbaik untuk tulisan ini. Saya percaya, di tengah semua tantangan, industri penjaminan Indonesia bisa menjadi pionir dalam adopsi AI yang inklusif dan bertanggung jawab.
Mari kita gunakan teknologi bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk memanusiakan industri penjaminan—agar lebih cepat, lebih adil, dan lebih berdampak.