PERHELATAN MotoGp Mandalika membungkus sejuta cerita bagi siapa saja yang membawanya. Hingar bingar MotoGp tak melulu membahas pesona alam Mandalika saja. Namun, persiapan yang mepet membuat ajang balapan paling akbar di muka bumi ini berada di situasi ketidakpastian.
Dari persoalan kualitas aspal yang dikeluhkan para pembalap dan timnya, cuaca yang membuat sirkuit menjadi basah dan perlu dilakukan perubahan strategi, hingga bagaimana pembalap menghadapi situasi buruk di tengah balapan. Menuntut semua pihak untuk tak sekadar menjadi yang tercepat di lintasan. Namun, juga lebih memperhatikan aspek keselamatan.
Saat sesi pemanasan digelar, saya yang waktu itu berdiri di tengah tribun mengingat betul setiap momen yang terjadi. Beberapa jam sebelum bendera race diangkat pertanda para pembalap mulai memacu motornya. Teriakan dan hingar bingar penonton tidak juga mampu meredam suara motor para rider yang menderum menderum begitu keras.
Setiap detail diperhatikan oleh tim guna mengantisipasi ketidakpastian yang tiap detik bisa saja terjadi. Bagaimanapun, MotoGp bukan soal gas dan mengerem laju. Di sana juga dibutuhkan manajemen sehingga mampu mencatatkan waktu terbaik. Keseimbangan antara kecepatan dan keselamatan mutlak diperlukan.
Saya menyaksikan langsung gegar balap itu dengan antusiasme tinggi, sehingga melihat betapa ngerinya ketika Marc Marquez mengalami high side crash di tikungan ketujuh, seketika dia terpelanting dari motornya, jatuh ke aspal dan terguling ke arah gravel. Sementara motor RC213V yang dinaikinya mengalami kerusakan fatal.
Setelah tim medis melakukan pertolongan,
Marc Marquez mampu berjalan walaupun terpincang-pincang. Tim medis menyatakan Marc Marquez tidak memungkinkan untuk melanjutkan balapan. Ia mengalami gegar otak ringan, setelah kepalanya terbentur trek aspal.
Tantangan Ketidakpastian
Dari Mandalika, saya membawa cerita itu. Lalu berandai-andai berada dalam posisi seperti itu, tentu saja bukan di arena balap melainkan di situasi-situasi ketidakpastian lainnya. Saat menjalankan roda bisnis, misalnya, menahkodai kapal bisnis jika tak memiliki kemampuan kontrol dan keseimbangan, apalagi di tengah berlayar di tengah badai. Maka bukan saja terpelanting, terseok-seok, kapal bisnis bisa karam.
Saya melihat balapan MotoGp dari perspektif bisnis, untuk membangun strong business leader. Agar perusahaan dapat tumbuh berkelanjutan dan lebih lanjut memenangkan persaingan di masa depan.
Setidaknya ada tiga tantangan yang tengah kita hadapi, yaitu globalisasi, digitalisasi, dan pasca pandemi. Globalisasi membuat kita berada dalam situasi pelik, ledakan jumlah penduduk, perubahan iklim akibat pemanasan global, serta ketegangan geopolitik di eropa timur membuat banyak pasokan bahan baku jadi terganggu. Kenaikan harga minyak goreng, gas, dan BBM saat ini jadi bukti dampak dari globalisasi.
Sementara gelombang deras digitalisasi mengubah banyak hal, disrupsi terjadi terutama di dunia usaha. Ada banyak pekerjaan yang tak lagi mengandalkan tenaga manusia. Oleh karenanya, ada banyak pekerjaan akan hilang dan diganti mesin-mesin berbasis AI (artificial intelligent).
Perubahan ini lantas diakselerasi oleh pandemi Covid-19 yang menjadi tantangan tersendiri. Penyebaran virus yang menyebabkan terbatasnya ruang gerak manusia menyebabkan turunnya produktivitas, tak ayal sebuah ujian berat bagi eksistensi dunia bisnis.
Dalam konteks mengelola keseimbangan growth dan sustainability di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) peran leader dalam mengembangkan, mempertahankan pertumbuhan bisnis menjadi faktor penentu.
Kepemimpinan yang efektif harus dapat beradaptasi di tengah dilema persaingan pasar. Kepemimpinan yang berfokus operasional (eksploitatif) dibutuhkan ketika organisasi dalam kondisi stabil. Dan manakala dalam situasi krisis, mode kepemimpinan transformasi (eksploratif) seketika diaktifkan.
Namun, sebagian besar organisasi berada pada situasi abu-abu memerlukan kepemimpinan eksploitatif-eksploratif secara bersamaan. Kepemimpinan model ini populer disebut ‘Ambidextrous leadership’ atau ‘ambidex leadership’.
Ambidex Leadership
Sebuah riset menarik coba dilakukan IMD Business School, sekolah bisnis di Swiss soal ambidex leadership ini. Hasilnya, ditemukan bahwa pemimpin yang mampu sukses kembali memposisikan core business sambil menciptakan bisnis baru menunjukkan tingkat ketangkasan dalam lima tolak ukur kepemimpinan.
Menariknya, masing-masing tolok ukur ini menuntut pemimpin untuk menganut dua perilaku yang sangat bertolak belakang. Karakteristik kepemimpinan tersebut antara lain; leading strategy, leading execution, leading stakeholders, leading people, dan leading self.
Ambidextrous semula dikenal di kalangan para dokter. Merupakan sebuah kemampuan seseorang yang bisa menggunakan kedua tangannya dengan baik, tangkas dan seimbang ketika melakukan beragam pekerjaan. Orang yang punya kemampuan ini bisa menulis dengan kedua tangannya sama baik.
Pada kebanyakan orang, menulis atau mengerjakan sesuatu biasanya dominan menggunakan tangan kanan atau kirinya saja. Namun pada orang dengan kemampuan ambidextrous, kedua tangannya sama-sama baik dan andal.
Kemampuan ini sangatlah langka, faktor penyebabnya belum diketahui secara jelas. Namun, biasanya orang-orang yang memiliki kemampuan ini punya saudara atau turunan genetik dari orangtua yang memiliki kemampuan yang sama.
Faktor lingkungan bisa juga banyak berpengaruh. Contohnya, anak-anak yang kidal lama kelamaan akan bisa memanfaatkan tangan kanannya sama baik karena lingkungan yang menganggap kidal sebagai sesuatu yang tabu. Akhirnya, si tangan kidal terus belajar dan bisa memanfaatkan kedua belah tangannya sama baik.
Dari kesimpulan ini, ditarik ke konteks leadership, ambidextrous dibutuhkan di tengah situasi yang tidak menentu baik di masa kini maupun masa depan. Model kepemimpinan dua tangan ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan bisnis yang berjalan sambil mengantisipasi disrupsi selanjutnya di masa akan datang.