REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendidikan bukan alat eksperimen, dan hukum bukan papan tulis yang bisa dihapus sesuka hati. Kalimat ini layak kita renungkan di tengah derasnya arus perubahan dalam dunia pendidikan. Dalam lebih dari dua dekade terakhir, tak terhitung berapa kali kurikulum nasional berubah.
Tiap kali perubahan datang, kita—guru, siswa, orang tua, hingga pengambil kebijakan—seakan-akan ditarik dalam pusaran tafsir baru: mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka yang belakangan ini menjadi arus utama. Namun, di balik euforia perubahan tersebut, ada yang jarang disentuh: regulasi yang secara hukum masih berlaku.
Salah satu isu yang patut dicermati adalah sistem penjurusan di pendidikan menengah, khususnya di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dalam beberapa tahun terakhir, narasi yang berkembang di publik seolah menyiratkan bahwa sistem penjurusan telah ditiadakan, dan digantikan oleh pendekatan peminatan atau fleksibilitas lintas mata pelajaran. Sayangnya, narasi ini kerap tidak dibarengi dengan pemahaman utuh atas aspek legal yang mendasarinya.
Bukan Sekadar Tafsir Baru
Padahal, penjurusan bukan sekadar kebijakan teknis. Ia adalah norma hukum yang tertuang secara eksplisit dalam Pasal 79 dan Pasal 80 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 79 ayat (2) menyebutkan bahwa pendidikan menengah berbentuk SMA diselenggarakan dengan sistem penjurusan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan peserta didik.
Bahkan ketika PP ini mengalami perubahan melalui PP Nomor 66 Tahun 2010, ketentuan mengenai penjurusan tidak dicabut. Ketika PP 17/2010 kemudian dinyatakan dicabut oleh PP 57 Tahun 2021, yang dicabut hanyalah pasal-pasal terkait Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), sementara ketentuan tentang penjurusan tidak termasuk yang dihapuskan.
Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Maria Farida Indrati (2007), menyatakan norma hukum yang tidak secara eksplisit dicabut tetap memiliki kekuatan hukum hingga ada penggantinya yang eksplisit. Dengan kata lain, apabila tidak ada penghapusan eksplisit, maka norma tersebut tetap berlaku. Itulah sebabnya dalam konteks hukum, asas lex posterior derogat legi priori (hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama) tidak bisa diberlakukan secara otomatis, apalagi jika tidak ada norma baru yang menggantikan secara substantif.
Maka menjadi penting bagi kita—sebagai pengambil kebijakan, pendidik, dan masyarakat sipil—untuk tidak terjebak dalam cara pandang bahwa setiap kebijakan baru otomatis membatalkan norma lama. Yang berubah bisa jadi adalah tafsir implementasinya, namun bukan serta-merta fondasi hukumnya.
Pergeseran sistem penjurusan ke arah pendekatan peminatan atau blok pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka memang bisa menjadi inovasi. Namun, selama regulasi yang menjadi payung hukum belum dicabut atau diubah secara sah, maka penerapan inovasi tersebut perlu dilakukan secara sinkron dengan norma yang ada. Mengubah praktik tanpa mengubah dasar hukumnya sama saja dengan membangun rumah di atas fondasi yang belum dipindahkan.
Beberapa laporan pemantauan implementasi kurikulum merdeka menunjukkan bahwa banyak SMA di berbagai daerah masih menerapkan sistem penjurusan karena belum ada regulasi pencabutan secara formal. Ini menunjukkan bahwa praktik di lapangan pun masih berpegang pada norma hukum yang sah, bukan semata pada tafsir kebijakan yang berubah-ubah. Di beberapa daerah, bahkan terdapat kebingungan administratif antara pilihan mata pelajaran dan struktur program studi karena belum ada pedoman transisi yang tegas. Hal ini tidak hanya menyulitkan guru dalam menyusun rencana pembelajaran, tetapi juga membingungkan peserta didik dalam menentukan jalur akademiknya secara konsisten.
Perubahan yang Lebih Tertib
Kondisi ini kontras dengan praktik di negara seperti Jerman atau Finlandia, di mana perubahan sistem pendidikan selalu diawali dengan revisi undang-undang pendidikan dan konsultasi publik yang luas. Di Jerman, misalnya, pendidikan kejuruan dan jalur akademik diatur secara terstruktur melalui sistem “dual education” yang diikat kuat oleh kerangka hukum federal. Begitu pula India yang dikenal sangat beragam secara sosial dan regional, namun tetap memastikan bahwa reformasi besar seperti implementasi National Education Policy (NEP) 2020 dijalankan melalui konsensus nasional, revisi kerangka hukum, dan partisipasi banyak pemangku kepentingan. Ini menunjukkan bahwa inovasi pendidikan dapat berjalan seiring dengan kepastian hukum.
Inilah salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola pendidikan kita hari ini: bagaimana menjaga semangat inovasi tanpa menabrak aturan main yang masih berlaku. Konsistensi antara kebijakan dan regulasi adalah wujud dari tata kelola yang baik (good governance). Kita tentu ingin pendidikan bergerak maju, tetapi ia juga harus berjalan di atas jalur hukum yang tertib.
Sejatinya pendidikan bukan hanya soal konten dan metode. Ia adalah sistem yang hidup dalam kerangka hukum, sosial, dan budaya. Dan ketika kita berbicara tentang perubahan, maka perubahan itu perlu dilakukan secara benar, melalui jalur yang sah.
Jika memang sistem penjurusan dinilai tidak lagi relevan, maka langkah yang tepat adalah menyesuaikan peraturan pemerintah yang mengaturnya. Melalui proses legislasi yang sah, terbuka, dan partisipatif, perubahan bisa dilakukan dengan penuh kehormatan pada sistem hukum yang telah dibangun. Praktik seperti ini juga sejalan dengan rekomendasi OECD dalam Education Policy Outlook (2020), yang menekankan pentingnya keberlanjutan regulasi dalam reformasi pendidikan.
Menempatkan regulasi pada proporsinya bukan berarti menolak perubahan. Justru sebaliknya, itu adalah bentuk penghormatan tertinggi pada perubahan yang beradab dan bertanggung jawab. Maka, mari kita mulai perubahan kebijakan dengan terlebih dahulu menata fondasi hukumnya.
Karena pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan kebaruan, tetapi juga meneladankan ketertiban.
Diterbitkan Republika pada 22 April 2025