REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Selama beberapa dekade terakhir, dunia dipacu oleh minyak dan gas. Negara yang menguasai sumber daya energi fosil menjadi penentu arah ekonomi dan politik global. Ekonomi Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, Saudi Arabia, bahkan China maju pesat seiring berkembangnya perusahaan-perusahaan berbasis migas.
Tapi waktu bergerak cepat, dan wajah kekuasaan itu perlahan berubah. Ketika minyak mulai menua dan dunia memimpikan langit yang lebih bersih, muncul energi baru (renewable energy). Energi terbarukan ini bersumber dari kekuatan alam—angin yang menggerakkan turbin, air yang mengalirkan listrik lewat pembangkit hidro, cahaya matahari yang ditangkap oleh panel surya, hingga panas bumi yang dimanfaatkan sebagai tenaga.
Namun, energi baru ini pun tak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan satu elemen penting, teknologi yang cerdas dan adaptif. Kemajuan energi terbarukan tak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi.
Di balik semua itu, kecerdasan artifisial [AI] memainkan peran penting: dari memetakan potensi matahari dan angin, mengatur distribusi energi melalui smart grid, hingga memprediksi beban puncak secara presisi. Perpaduan antara sumber daya terbarukan dan kecerdasan teknologi inilah yang menjadikan transisi energi global semakin tak terelakkan.
Dari energi ke algoritma
John Wilson dan Paul Daugherty dalam artikelnya berjudul “Collaborative Intelligence: Humans and Ai Are Joining Forces” (Harvard Business Review, 2022) mengatakan, model Generative Ai seperti yang dikembangkan oleh OpenAI telah mengubah cara kerja kreatif di berbagai sektor, mulai dari penulisan konten, desain visual, hingga dukungan pengambilan keputusan. Menurutnya, dalam konsep “Collaborative Intelligence”, manusia dan mesin saling memperkuat. Ai menangani tugas rutin dan kompleks, sementara manusia fokus pada aspek strategis, empatik, dan inovatif.
Di sektor energi bersih, Ai mulai diterapkan untuk mengoptimalkan kinerja panel surya, memprediksi produksi turbin angin berdasarkan cuaca, hingga mengelola jaringan listrik cerdas yang menyeimbangkan beban secara real time. Di sinilah kita menyadari bahwa Ai bukan hanya transformasi kehidupan secara digital, tapi fondasi penting bagi keberlanjutan energi, ekonomi, dan kehidupan secara global.
Saat ini, dunia menyaksikan percepatan besar sejak kemunculan OpenAi dengan ChatGPT-nya, yang memperkenalkan Generative Ai kepada publik secara luas. Teknologi Ai yang bisa menulis, menggambar, bahkan berdialog dengan manusia.
Belum genap dua tahun, China pun menantang dominasi ini melalui DeepSeek, startup lokal yang meluncurkan model reasoning Ai berbiaya rendah namun berkualitas tinggi. Kemunculan DeepSeek bukan sekadar inovasi teknologi, tapi juga sinyal bahwa medan persaingan telah berpindah dari kekuatan militer atau energi, menuju penguasaan kecerdasan digital.
Di tengah pergeseran dunia dari sumber daya alam menuju dominasi teknologi, negara-negara maju kini tak lagi berebut minyak dan gas, melainkan berlomba menguasai logika mesin dan bahasa algoritma. Peta persaingan global berubah cepat, bukan lagi siapa yang memiliki cadangan energi terbanyak, melainkan siapa yang mampu membentuk generasi yang memahami kecerdasan artifisial sejak dini.
Korea Selatan menjadi pionir dengan mendirikan sekolah menengah khusus Ai. Mereka menyiapkan siswanya bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tapi pencipta inovasi. Di Tiongkok, langkah lebih agresif diambil, mulai September 2025 pelajaran Ai akan menjadi kurikulum wajib di seluruh sekolah dasar dan menengah. Sementara itu, di Amerika Serikat, negara bagian California telah menjadikan literasi Ai sebagai keharusan dalam kurikulum publik.
Beberapa inisiatif tersebut menandai komitmen jangka panjang untuk menanamkan kesadaran digital sejak bangku sekolah. Mereka sadar, masa depan tidak akan ditentukan oleh siapa yang tercepat memproduksi chip, tetapi siapa yang paling siap membentuk warganya untuk hidup berdampingan dengan mesin yang terus belajar.
Lompatan Sunyi
Indonesia sebetulnya tak tinggal diam, dalam beberapa bulan terakhir tengah berusaha melakukan lompatan sunyi untuk menyiapkan langkah strategis. Ya, di tahun ajaran baru [Juli 2025] mendatang, pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial [Koding-KA] akan mulai diterapkan di sejumlah sekolah dasar [kelas 5] dan menengah [kelas 7 dan 10].
Meskipun mapel ini sifatnya masih pilihan, namun ini adalah bentuk nyata dari pendidikan adaptif yang menjadi semangat Mendikdasmen Abdul Mu’ti, dan bagian dari visi besar Asta Cita dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran. Ini juga bukan cuma respons yang terburu-buru terhadap tren global, melainkan hasil dari proses panjang—berbasis kajian akademik, konsultasi publik, dan penyusunan roadmap yang hati-hati.
Di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah [Kemendikdasmen], kebijakan ini akan diimplementasikan dengan tujuan yang tak semata agar siswa bisa menulis kode-kode [koding] atau piawai memanfaatkan chatbot, tetapi agar mereka tumbuh dengan cara berpikir algoritmik, kritis, dan etis dalam menyikapi teknologi.
Rancangannya mencakup elemen capaian pembelajaran komprehensif—dari berpikir komputasional, analisis data, algoritma pemrograman, hingga etika Ai dan desain sistem. Pendekatan pembelajarannya memadukan metode berbasis projek, inkuiri, hingga gamifikasi. Materi bisa diberikan secara digital maupun melalui metode unplugged, sehingga pembelajaran Koding dan KA memungkinkan untuk diberikan kepada murid dalam kondisi apa pun, baik terdapat iternet maupun tidak [blankspot].
Untuk mendukung pembelajaran ini, pemerintah juga tengah menyusun buku teks utama dan bahan ajar standar, serta menyiapkan pelatihan intensif bagi guru—baik guru kelas di SD maupun guru-guru dengan latar belakang TIK ataupun MIPA di jenjang SMP, SMA dan SMK. Bahkan direncanakan akan ada program sertifikasi khusus bagi guru Koding dan KA.
Dalam konteks visi besar pemerintahan Prabowo-Gibran, Asta Cita memberikan ruang strategis untuk transformasi pendidikan berbasis teknologi. Maka, pembelajaran Koding dan KA bukan sekadar program tambahan di sekolah, melainkan bagian dari komitmen nasional mencetak generasi yang bukan hanya siap kerja, tapi juga siap mencipta.
Meski begitu, transformasi sunyi ini tentu saja tak bisa dikerjakan oleh pemerintah semata. Pembelajaran Koding dan KA menuntut kolaborasi lintas sektor [partisipasi semesta]. Guru perlu dibekali dengan pelatihan dan alat ajar yang sesuai. Sekolah perlu didampingi dalam mengadopsi pendekatan baru. Komunitas teknologi, platform edutech, dan industri kreatif dapat menyumbangkan konten, metodologi, bahkan mentorship.
Pun demikian para orangtua murid, juga perlu dilibatkan. Anak-anak yang tumbuh dalam dunia Ai membutuhkan ekosistem yang memahami sekaligus membimbing. Literasi digital bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga lingkungan sosial. Di sisi lain, pemda, mitra industri, dan dunia usaha bisa berperan menyediakan infrastruktur dan pembiayaan.
Yang paling penting adalah memastikan keadilan akses. Pembelajaran Koding dan KA tidak boleh menjadi sekolah-sekolah di kota besar. Ia harus menjangkau sekolah dan madrasah di pelosok, di perbatasan, hingga komunitas adat yang belum tersentuh digitalisasi. Pembelajaran Koding dan KA harus memperkecil ketimpangan, bukan memperlebarnya.
Semoga saja, lompatan sunyi yang sedang dipersiapkan ini bisa menjadi game changer bagi pendidikan nasional.
Diterbitkan Republika pada 3 April 2025