Wednesday, Jul 2, 2025

Kado Lebaran dari Sang Educator in Chief

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lebaran tak hanya tentang opor, ketupat, dan baju baru. Lebaran adalah pelabuhan rasa. Di sinilah anak-anak menjadi pusat semesta. Senyum mereka adalah nyala kehidupan, langkah kecil mereka adalah puisi tentang harapan.

Di setiap sudut desa atau pun kota, anak-anak berlari menyambut pagi, dengan suara takbir yang menggetarkan langit. Tangis mereka reda saat tangan mungil menerima ‘angpau’ atau uang saku Lebaran. Tawa mereka membuncah kala meraih pernak-pernik penuh warna. Lebaran, bagi mereka, adalah momen sakral tentang kebahagiaan yang tak bersyarat.

Rasulullah SAW pun mengajarkan itu. Dalam banyak riwayat, beliau memberi perhatian khusus kepada anak-anak pada hari raya. Diceritakan, Nabi pernah menggendong cucunya, Hasan dan Husein, saat menuju masjid di Hari Raya. Ia membelai kepala anak yatim, menyeka air mata mereka, dan memastikan tak ada satu pun anak yang merasa kehilangan kasih sayang. Hari Raya adalah momen memuliakan mereka yang paling kecil di antara kita.

Begitu pula Sahabat Umar bin Khattab. Di balik ketegasannya, tersimpan kelembutan luar biasa. Ia pernah memanggul sendiri karung gandum untuk seorang ibu miskin yang anak-anaknya menangis kelaparan. Di hari raya pun, ia memastikan tak ada satu anak pun yang terpinggirkan dari kebahagiaan.

Ketika ajudannya menawarkan bantuan, Umar menolak. “Apakah kau akan memanggul dosaku di hari kiamat?” katanya. Bahkan di hari raya, Umar memastikan tak ada anak yang tertinggal dari kebahagiaan.

Makna simbolik

Meski terkesan simbolik, namun tradisi tersebut sejadinya memiliki makna mendalam. Imam Al-Ghazali, dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan merupakan amanah bagi orang tua. Ia menulis, “Hati anak itu suci, laksana permata yang berharga. Jika dibiasakan kepada kebaikan, ia akan tumbuh dalam kebaikan.” Dalam konteks ini, pendidikan dan perlindungan anak menjadi tanggung jawab utama keluarga dan masyarakat.

Menurut Imam Ghozali, jika anak-anak dibesarkan tanpa perhatian dan arahan yang benar, maka potensi besar mereka bisa tergelincir. Pandangan ini memperkuat urgensi perhatian mendalam terhadap tumbuh kembang anak, bukan hanya sebagai tugas moral dan spiritual, tapi juga tanggung jawab sosial dan negara.

Inilah yang dikatakan Nasih Ulwan, ulama tan tokoh muslim berkebangsaan Suriah, bahwa pendidikan akan lebih indah dan lebih cepat dipahami jika dilakukan melalui praktek langsung [learning by doing]. Karena anak-anak meniru apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari orangtua, guru, maupun teman-temannya.

Simbolisme tradisi lebaran dalam konteks tumbuh kembang anak juga dapat dijelaskan dalam pendekatan psikologi perkembangan. Jean Piaget, seorang psikolog terkemuka menyatakan bahwa anak-anak membentuk struktur kognitif mereka berdasarkan pengalaman langsung dan interaksi sosial. Dalam fase-fase awal kehidupan, menurut Piaget, seorang anak sangat peka terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu, segala bentuk simbol, tradisi, dan tindakan yang nampak sederhana sekalipun bisa memberi dampak mendalam terhadap cara mereka memandang dunia [world view]. Tradisi-tradisi simbolik yang punya nafas pendidikan dan nilai-nilai luhur berperan penting membentuk kesadaran moral anak sejak dini.

Anak-anak bukan hanya meniru, tapi juga menangkap makna batin dari apa yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitarnya. Jika orang tua menunjukkan kasih sayang, ketegasan yang adil, dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan, maka anak akan tumbuh dengan kecenderungan untuk mereplikasi perilaku tersebut dalam kehidupannya kelak. Meminjam perkataannya Emile Durkheim, pendidikan adalah sarana pewarisan norma dan nilai yang menopang keteraturan sosial. Ini artinya, tradisi simbolik bukan cuma kebiasaan yang turun menurun, tapi juga sarana strategis membentuk karakter kolektif generasi masa depan.

Kado Lebaran

Sadar akan makna simbolik tersebut, Presiden Prabowo Subianto di awal kepemimpinannya berusaha menempuh sejumlah langkah nyata untuk menanamkan norma dan tradisi yang positif untuk generasi penerus bangsa. Melalui visi besar yang terangkum dalam “Asta Cita,” ia menempatkan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak sebagai prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional.

Beberapa kebijakan penting yang telah diluncurkan antara lain program Makan Bergizi Gratis dan Cek Kesehatan Gratis. Keduanya dirancang untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dalam kondisi fisik yang sehat dan kuat, mulai dari dalam kandungan hingga usia sekolah. Gizi dan kesehatan bukan hanya soal angka statistik, tapi pondasi awal untuk mencetak generasi yang unggul.

Kemudian, ada Sekolah Rakyat Berasrama dan SMA Unggulan Berasrama, yang menjadi jawaban atas ketimpangan akses pendidikan. Anak-anak dari keluarga kurang mampu diberi ruang untuk tumbuh dalam lingkungan belajar yang mendukung, terarah, dan setara dengan mereka yang lahir dari keluarga berada. Pendidikan berkualitas menjadi hak, bukan privilese.

Upaya ini diperkuat dengan kebijakan Transfer Langsung Tunjangan Guru dan peningkatan gaji. Karena masa depan anak-anak tak akan bisa dilepaskan dari peran guru yang sejahtera dan termotivasi. Renovasi sekolah secara besar-besaran juga segera dilakukan untuk memastikan setiap anak belajar di ruang yang layak, aman, dan membangun semangat belajar.

Tak berhenti di situ, Prabowo juga mendorong kehadiran teknologi dalam pembelajaran melalui Smart Board di tiap kelas serta pelatihan coding dan pemahaman kecerdasan buatan (AI) sejak dini. Anak-anak Indonesia dipersiapkan bukan hanya untuk bertahan di masa depan, tetapi untuk memimpin perubahan.

Puncaknya, jelang Lebaran tahun ini, Presiden Prabowo mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, atau yang dikenal sebagai PP Tunas. Regulasi ini menjadi tameng penting dalam melindungi anak-anak dari ancaman di ruang digital: dari judi online, perundungan, hingga eksploitasi.

PP Tunas mengatur batas usia akses digital, izin orang tua, serta tanggung jawab penyedia platform dalam menciptakan ruang aman bagi anak-anak. Ini adalah bentuk negara hadir sebagai pelindung, bukan hanya dalam dunia nyata, tapi juga di semesta digital tempat anak-anak kini tumbuh.

Inilah kado Lebaran dari Sang Educator in Chief. Bukan dalam bentuk amplop berisi uang atau bingkisan sesaat, tapi dalam bentuk kebijakan yang hidup dan berdampak. Kado yang tak hanya hadir untuk hari ini, tapi akan menyala dalam perjalanan panjang anak-anak menuju masa depan.

Diterbitkan Republika pada Senin 29 Maret 2025

https://analisis.republika.co.id/berita/stvqmz451/kado-lebaran-dari-sang-educator-in-chief-part4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *