Sunday, Aug 3, 2025

Membangun Kebiasaan Anak Hebat

Saat kecil, Thomas Alva Edison sama seperti anak-anak pada umumnya. Dunia masih sederhana baginya, tak banyak yang ia pikirkan selain makanan dan waktu bermain. Pun jelang ia mengalami titik balik dalam hidup.

Siang itu, selepas pulang sekolah Edison kecil pulang seperti biasa. “Makan siang apa ya di rumah?” pikir Thomas sambil mengayunkan langkahnya. Ia menggenggam secarik kertas, tanpa peduli apa isinya.

Saat ibunya, Nancy Elliot Edison, menerima surat itu, ia hanya melihat sekilas sebelum membuka lipatannya. Matanya bergerak cepat mengikuti deretan kata. Sesaat, wajahnya berubah. Tapi ia menelan kekhawatiran itu dalam-dalam.

“Sekolah bilang anakku ini jenius,” katanya lembut. “Mereka tak punya guru yang cukup pintar untuk mengajarmu. Jadi, mulai sekarang, Ibu sendiri yang akan mendidikmu di rumah.”

Edison tidak bertanya. Ia tidak curiga bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Ia hanya anak kecil yang percaya pada ibunya. Jika ibunya berkata ia jenius, maka begitu adanya. Ia menerima kenyataan barunya tanpa banyak pikir. Yang ia tahu, sejak hari itu, rumahnya berubah menjadi ruang kelas. Nancy Edison berjibaku meningkatkan rasa ingin tahu Thomas Alva Edison [curiosity], memberinya rangsangan agar tertarik mengeksplore apa pun yang belum diketahuinya.

Bertahun-tahun kemudian, saat Edison telah dikenal dunia sebagai salah satu ilmuwan terbesar sepanjang sejarah, ia menemukan kembali surat itu. Tangannya bergetar saat membacanya. Kali ini, tak ada senyum di wajahnya. “Anakmu terlalu bodoh untuk belajar di sekolah. Kami menyarankan agar ia dikeluarkan dan mencari pendidikan di tempat lain.”

Matanya berkaca-kaca. Ibunya telah berbohong. Bukan untuk menipunya, tetapi untuk menyelamatkannya. Karena pendidikan bukan hanya soal sekolah. Pendidikan adalah ekosistem. Pendidikan adalah dorongan tanpa henti untuk berkembang. Pendidikan adalah membangun kebiasaan. Pendidikan adalah ‘Gerakan.’

Kebiasaan Hebat

Apa yang dilakukan Nancy Elliot Edison bukan cuma tindakan seorang ibu yang percaya pada anaknya. Itu adalah bentuk pendidikan yang sejati: membangun kebiasaan, menciptakan lingkungan yang mendukung, dan memastikan seorang anak tetap memiliki rasa percaya diri. Pendidikan tidak selalu lahir dari gedung sekolah dan kurikulum yang tersusun rapi. Pendidikan adalah kebiasaan yang berulang, keyakinan yang ditanamkan, serta eksplorasi yang tidak pernah dibatasi.

Di berbagai belahan dunia, pendidikan bukan hanya tentang sistem sekolah yang tersusun, tetapi juga bagaimana sebuah bangsa membentuk kebiasaan anak-anaknya. Di Jepang, anak-anak terbiasa berjalan kaki ke sekolah, bukan hanya untuk menyehatkan tubuh, tetapi juga membentuk karakter disiplin dan mandiri. Sementara di Norwegia, setiap hari Senin adalah hari untuk berbicara dalam bahasa ibu mereka. Bercerita tentang apa yang dilakukan di waktu liburan. Bukan hanya sebagai bentuk pelestarian budaya, tetapi juga sebagai cara menjaga jati diri bangsa mereka.

Di Jerman, anak-anak menghabiskan waktu di luar ruangan melalui Waldkindergarten (Taman Kanak-Kanak Alam). Mereka diajarkan keterampilan bertahan hidup, eksplorasi, dan interaksi dengan alam sebagai bagian dari kurikulum. Sementara di Bhutan, pendidikan tidak hanya menitikberatkan pada akademik, tetapi juga kesejahteraan mental dan kebahagiaan siswa. Negara ini memiliki konsep Gross National Happiness [GNH]. Lewat konsep ini, Bhutan mengajarkan meditasi, kesadaran sosial, serta keseimbangan emosional dalam kurikulum sekolah mereka.

Apa yang dilakukan Jepang, Norwegia, Jerman, maupun Bhutan menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa hanya dimaknai sebagai tempat belajar, tetapi lebih kepada bagaimana kebiasaan baik dibangun sejak dini. Sebuah bangsa yang ingin mencetak generasi unggul harus lebih banyak memikirkan tentang kebiasaan apa yang perlu mereka tanamkan kepada anak-anak mereka.

Indonesia, dengan segala kompleksitas budayanya, memiliki tantangan tersendiri dalam membangun kebiasaan ini. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mencoba merumuskan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, yang terdiri dari bangun pagi, beribadah, berolahraga, gemar belajar, makan sehat, gemar bermain, dan tidur cukup. Ini bukan sekadar daftar kegiatan sehari-hari, tetapi cara membentuk karakter anak-anak sejak dini.

Kebiasaan sederhana seperti bangun pagi bukan hanya mengajarkan kedisiplinan, tetapi juga kesiapan menghadapi hari dengan lebih baik. Beribadah bukan hanya soal ritual keagamaan, tetapi membentuk kesadaran spiritual dan mental yang lebih kuat. Berolahraga bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi investasi dalam daya tahan tubuh dan kejernihan berpikir. Semua kebiasaan ini, jika dilakukan secara konsisten, tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada bangsa secara keseluruhan.

Membangun Kebiasaan

Namun, membangun kebiasaan tidaklah mudah. Dibutuhkan strategi yang tepat agar kebiasaan baik bisa bertahan lama dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kebiasaan tidak terbentuk dalam semalam, melainkan melalui proses yang berulang dan bertahap. Banyak orang memulai dengan semangat tinggi, tetapi kemudian kehilangan momentum ketika menghadapi hambatan.

Oleh karena itu, memahami cara kerja kebiasaan, bagaimana kebiasaan dipicu, dan bagaimana mempertahankannya dalam jangka panjang menjadi hal yang sangat penting. Dalam konteks ini, perubahan yang bertahap selalu lebih mudah dipertahankan daripada perubahan drastis yang memaksa. Inilah sebabnya mengapa pendekatan berbasis kebiasaan kecil telah banyak dikaji dalam dunia psikologi perilaku.

Salah satunya adalah microhabit, memulai dari kebiasaan kecil yang mudah dilakukan. Anak tidak harus langsung membaca satu buku dalam semalam, tetapi cukup lima hingga sepuluh menit setiap hari. Kebiasaan yang kecil tetapi konsisten lebih efektif daripada perubahan besar yang hanya sesaat. Begitu juga dalam konteks menerapkan 7 kebiasaan Anak Indonesia Hebat.

Microhabit atau dalam tipologi BJ Fogg disebut sebagai Tiny Habits menyarankan, agar kebiasaan baru sebaiknya dimulai dari langkah yang sangat kecil, sehingga terasa ringan dan mudah untuk dijalankan secara konsisten. Dengan cara ini, kebiasaan baru tidak menjadi beban, tetapi justru tumbuh secara alami dalam kehidupan sehari-hari. “Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok.”

Kebiasaan juga harus memiliki pola, atau disebut habit loop. Setiap kebiasaan harus memiliki pemicu, rutinitas, dan hadiah. Seorang anak yang terbiasa bangun pagi karena ada aktivitas yang menantinya akan lebih mudah mempertahankan kebiasaan itu. Lantas, jika kebiasaan dilakukan secara berulang dan memiliki hasil yang menyenangkan, maka ia akan lebih bertahan lama.

Cara lain, adalah dengan mencatat dan memantau kemajuan [habit tracking]. Teknik ini merupakan teknik perubahan perilaku yang telah lama digunakan dalam psikologi. Semacam praktik self-monitoring [memantau diri sendiri], yang terbukti efektif membantu pembentukan kebiasaan dengan meningkatkan kesadaran dan akuntabilitas pribadi.

Benjamin Franklin pernah menerapkan pelacakan kebiasaan pada tahun 1726. Caranya dengan membuat jurnal berisi 13 kebajikan dan memberi tanda setiap kali melanggar suatu kebajikan. Tujuannya, untuk mengurangi pelanggaran dari waktu ke waktu.

Dalam penelitian modern, intervensi perubahan kebiasaan sering memasukkan pencatatan harian atau aplikasi pelacak sebagai sarana umpan balik dan motivasi (misalnya mencatat olahraga atau pola makan harian).

Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan habit hacks. Beberapa strategi yang efektif berdasarkan riset perilaku. Salah satunya adalah teknik implementation intention, atau niat impelementasi yang diperkenalkan Peter Gollwitzer [1999]. Teknik implementasi menggunakan rumus ‘Jika-Maka’. Contohnya, Jika selesai mandi pagi, maka saya akan langsung meditasi 5 menit.

Last, but not least, adalah akuntabilitas [accountability]. Pembentukan kebiasaan yang didorong oleh dukungan sosial. Bergabung dengan komunitas atau partner akuntabilitas membuat seseorang lebih konsisten menjalankan kebiasaan baik. Charles Duhigg menyebutnya dengan “golden rule of habit change”. Bahwa individu yang bergabung dalam komunitas cenderung lebih berhasil mengganti kebiasaan buruk dibanding yang berupaya sendiri [lone ranger].

Jika kita renungkan lebih mendalam, maka apa yang saat ini kita jalankan [puasa Ramadhan] adalah bagian dari upaya untuk menanamkan kebiasaan baik secara paripurna. Tidak saja fisik, tapi juga mental dan spiritual.

Pada akhirnya, membangun pendidikan menjadi sebuah gerakan memang tak bisa kita lakukan sendiri. Kita membutuhkan peran semua pihak untuk memastikan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter yang konsisten. Jika pendidikan dapat lebih fokus membangun kebiasaan hebat, maka akan lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan siap menghadapi tantangan zaman.

Diterbitkan Republika pada Minggu, 9 Maret 2025

https://analisis.republika.co.id/berita/ssv2c1451/membangun-kebiasaan-anak-hebat-part7

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *