WAJAH dua Tanah Suci di Arab Saudi atau Haramain selepas pandemi banyak berubah. Terutama di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.
Untuk Masjid Nabawi, perubahan paling mencolok terjadi di pintu nomor 20-22 atau pintu utama di bagian sisi utara. Tugu jam di depan pintu utama yang biasa kita jadikan latar untuk berfoto sudah tidak ada.
Begitu pun tempat-tempat pemberhentian bis dan beberapa hotel di sekitarnya kini juga sudah tidak ada. Kini, yang ada adalah sebuah jalan besar yang terhubung ke jalan-jalan kecil menuju hotel-hotel, tempat para jamaah menginap.
Dari depan pintu utama ini sekarang kita jadi bisa melihat pemandangan berupa bebukitan. Sangat indah dipandang mata.
Perubahan juga terjadi di Masjidil Haram. Hampir semua halaman di semua sisi masjid ini menjadi lebih luas. Beberapa loket tempat penitipan barang dan tempat berwudhu sudah tidak terlihat lagi. Kosong melompong.
Satu hal yang tak berubah dan bertahan dari dua tempat suci ini adalah kehangatan para para penduduk dan pedagang di pasar-pasar sekitarnya.
Suara riuh ramai diiringi kepak sayap burung-burung merpati sayup terdengar jika kita masuk ke mulut jalan menuju ke pasar-pasar di sekitar Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram.
“Uang Jokowi boleh disini,” teriak salah satu pedagang saat orang-orang berwajah khas Indonesia menghampiri tokonya. Selain menjadi salah satu cara untuk menarik perhatian pelanggan, juga karena nama Presiden kita di Tanah Suci memang cukup populer.
Tak heran jika Jokowi sendiri pernah mengatakan, jika Madinah atau Mekkah merupakan dua kota yang masyarakatnya damai, adil, dan Makmur. Potret kota yang diidamkan banyak orang.
Tak heran pula jika Madinah mendapat julukan sebagai ‘kota tersehat’ di dunia sekaligus membuat Arab Saudi menjadi salah satu negara dan bangsa yang besar.
Ternyata, menjadi bangsa besar tidak bergantung pada ukuran, jumlah penduduk, atau kekayaan alamnya yang besar. Namun bisa apa saja.
Lihat bagaimana negara kecil singapura bisa jadi negara besar karena sukses menjadi pusat keuangan terbesar di Asia dan nir korupsi. Atau juga Denmark yang menjadi bangsa besar karena kesejahteraannya rakyatnya. Atau Norwegia karena memiliki system pendidikan dan pengelolaan energi masa depannya yang baik.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, punya potensi dan bisakah jadi bangsa yang besar? Ada pepatah menarik yang mengatakan, if strength and power meant everything the elevaphant, not lion, would be king of the jungle. Jika ukuran adalah kekuatan dan tenaga, mestinya gajah jadi raja hutan bukan singa. Maksudnya adalah dengan ciri khasnya masing-masing bangsa mana pun sesungguhnya bisa jadi bangsa besar.
Bagi saya, memiliki pemimpin yang populer di kalangan para pedagang di Arab Saudi juga merupakan potensi kita menuju predikat bangsa besar. Yang apabila bisa kita hargai, maka akan jadi faktor penentu yang menjadikan Indonesia bangsa besar.
Perlu diingat, bahwa yang Namanya pemimpin itu harus didukung dan dipatuhi. Kita ingat, jika Nabi Musa dan dan Nabi Hidir saja pernah diperintahkan Allah untuk bicara lemah lembut bahkan kepada seorang Firaun sekali pun. Yang jelas-jelas tidak satu iman. Firaun bahkan adalah raja yang sangat pongah, sombong, dan kejam.
Itu artinya, problem kita saat ini bisa jadi memang soal akhlak. Karena dengan akhlaklah kita bisa melahirkan apa yang disebut Stanley Milgram sebagai ‘kepatuhan’.
Hanya saja, memang seringkali pemimpin itu dikenal di negeri orang namun dicerca di negeri sendiri.
Padahal, Ibnu Hajar al-Asqalani pernah bilang, Islam sangat memuliakan pemimpin, ini karena tugas yang mereka emban. Siapa pun tidak boleh merendahkan penguasa, baik itu dengan celaan, ghibah, atau bahkan umpatan.
Ungkapan ini ia sampaikan dalam Fathul Bari, ketika ia mengomentari sebuah hadis dari Ibnu Umar soal pentingnya mendengar dan taat pada pemerintahan dalam hal yang disukai atau tidak. Hikmahnya kata dia, adalah agar menjaga persatuan kesatuan, hingga menghindari perpecahan dan kehancuran.
Ya, akhlakul karimah, kepatuhan, adalah sesuatu yang penting jika bangsa Indonesia ingin mewujudkan apa yang diprediksi banyak kalangan menjadi salah satu negara terkuat secara ekonomi di tahun 2045.
Sebagai negara dengan potensi alam dan sumber daya manusianya yang beragam, Indonesia membutuhkan akhlak dan kepatuhan agar terjalin persatuan dan kesatuan yang hakiki. Modal yang sama juga dibutuhkan agar Indonesia juga sukses di sektor-sektor lainnya, seperti; ekonomi, sains, dan bahkan olahraga.
Sayangnya, pencapaian kita saat ini belum terlalu menjanjikan. Setidaknya, itu dibuktikan dengan belum dilihatnya wajah pemimpin negeri, Presiden Jokowi seperti di Tanah Suci.