SEJARAH teknologi kerap dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana, namun punya dampak luar biasa. Pada 1950 misalnya, Alan Turing pernah melontarkan pertanyaan menggelitik: “Can machine think?” Sejak itu dunia tak pernah sama lagi.
Dari pertanyaan ‘nakal’ Turing lahirlah diskursus panjang tentang kemungkinan mesin berpikir layaknya manusia. Turing bahkan merancang Turing Test sebagai uji awal kecerdasan buatan (AI).
Empat dekade kemudian, pada 1980-an, dunia menyaksikan lahirnya “expert system”, meski penggunaannya masih terbatas pada kalangan industri tertentu. Lalu, pada 2016, Geoffrey Hinton—dikenal sebagai “Godfather of AI”—memimpin terobosan besar ketika AlphaGo mengalahkan juara dunia Go, permainan strategi yang selama ini dianggap mustahil ditaklukkan mesin.
Dan sejak 2022, era AI generatif seperti ChatGPT, MidJourney, dan Gemini mengubah cara manusia bekerja, belajar, dan berinteraksi. AI bukan lagi gagasan masa depan, melainkan bagian nyata dari keseharian kita.
Euforia Ai
Optimisme awal terasa begitu kuat. AI terbukti membantu pekerjaan manusia di banyak bidang. Dalam bidang kesehatan misalnya, AI dapat mendeteksi kanker lebih cepat dari dokter. Di bidang transportasi, mobil otonom mengurangi beban pengemudi. Sementara di dalam pendidikan, AI mempersonalisasi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa.
Dalam bisnis, AI menganalisis pasar dan melayani pelanggan tanpa henti. Bahkan di pemerintahan, AI sudah dimanfaatkan untuk mengolah data publik dan mendorong efisiensi birokrasi. Aura euforia pun mengiringi: seolah AI adalah kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih cerah.
Namun, perjalanan AI juga menyisakan luka. Kasus mobil otonom yang menabrak pejalan kaki membuktikan bahwa algoritma bisa salah fatal. Di Belgia, seorang pria mengakhiri hidupnya setelah berinteraksi intens dengan chatbot AI yang memperburuk depresinya.
Aktivisme digital di Indonesia dan Nepal menunjukkan energi sosial yang besar, tetapi juga diwarnai banjir hoaks, manipulasi algoritma, dan polarisasi. AI bukan hanya solusi, melainkan juga sumber masalah baru yang tak terduga.
Respon terhadap fenomena itu pun beragam. Di Indonesia dan Nepal, ketidakpuasan rakyat diekspresikan melalui demonstrasi dan aksi massa. Jalanan menjadi ruang kontrol terhadap kekuasaan manusia.
Sebaliknya, Albania memilih jalan lain: mereka mengangkat sebuah sistem AI bernama Diella sebagai menteri. Sebuah entitas non-manusia kini ikut menentukan arah kebijakan nasional. Kontras ini menarik: ketika rakyat di belahan dunia lain menuntut akuntabilitas dari pemimpin manusia, sebuah negara justru mempercayakan sebagian kekuasaan kepada algoritma.
Pertanyaan menggelitik episode kedua pun layak dilontarkan: apakah AI hanya sekadar objek hukum, atau sudah pantas diperlakukan sebagai subjek hukum?
Selama ini, hukum hanya mengenal dua subjek utama: manusia dan badan hukum. Objek hukum hanyalah benda atau alat yang bisa dipakai, diperjualbelikan, atau dioperasikan. Tetapi bagaimana jika sebuah sistem AI membuat keputusan strategis, memengaruhi jutaan orang, atau bahkan menjadi pejabat negara? Masih pantaskah kita menyebutnya sekadar benda?
Status Hukum AI
Perdebatan tentang status hukum AI kian menguat. Sebagian sarjana hukum berpendapat AI tetap harus dianggap sebagai objek hukum, dengan tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan pencipta, pengendali, atau pemiliknya. Namun, ada juga yang mulai melirik konsep electronic personhood.
Konsep yang memberi AI status hukum terbatas layaknya badan hukum, sehingga bisa memiliki hak dan kewajiban tertentu. Gagasan ini bukan tanpa kontroversi. Memberi AI status hukum berarti membuka kemungkinan ia menuntut haknya sendiri, bukan sekadar dikendalikan.
Dunia mulai mencari cara menjawab dilema itu. Uni Eropa meluncurkan EU AI Act 2024, regulasi pertama yang mengatur penggunaan AI secara komprehensif, mulai dari klasifikasi risiko hingga kewajiban pengembang. Amerika Serikat memilih pendekatan sektoral melalui AI Safety Institute dan Executive Order Presiden Biden.
Tiongkok mengatur ketat penggunaan deepfake dan algoritma. Indonesia sendiri masih meraba-raba, meski sudah ada UU No 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan wacana kebijakan AI nasional. Namun belum sampai pada pengakuan status hukum AI.
Di tengah ketidakpastian itu, muncul pendekatan regulatory sandbox. Beberapa negara mengizinkan pengembang AI menguji coba teknologi dalam ruang terbatas, dengan pengawasan ketat.
Sandbox memberi ruang bagi inovasi tanpa kehilangan pagar etik dan hukum. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, model ini mungkin menjadi jalan tengah: mendorong pemanfaatan AI sekaligus menjaga keselamatan publik.
Meski demikian, pertanyaan fundamental tetap menggantung. Jika suatu hari AI membuat keputusan yang salah—entah dalam kebijakan publik, perbankan, atau kesehatan—siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban? Manusia penciptanya? Negara pengguna? Ataukah AI itu sendiri? Pertanyaan Alan Turing, “Can machine think?”, kini berevolusi menjadi pertanyaan baru: “Can AI be held accountable?”
Hukum memiliki adagium klasik: lex semper loquitur futuro, non praeterito. Artinya undang-undang selalu berbicara untuk masa depan, bukan masa lalu. AI menghadirkan masa depan yang datang lebih cepat daripada bayangan pembuat undang-undang.
Jika hukum tidak mampu bergerak secepat teknologi, kita bisa terjebak dalam dunia yang diatur oleh entitas tanpa wajah, tanpa darah, tanpa jiwa. Tetapi memiliki kuasa atas hidup manusia.
AI mungkin lahir dari pikiran manusia. Tetapi jika ia terus berkembang hingga menduduki kursi kekuasaan, hukum harus berani menjawab: apakah ia tetap sekadar alat, atau sudah menjadi aktor? Jawaban itu akan menentukan apakah masa depan kita dikendalikan oleh hukum, atau justru oleh algoritma.
Diterbitkan kumparan.com pada 22 September 2025
https://kumparan.com/muhammadmuchlasrowi/menimbang-status-hukum-ai-25tyXbK0YgC/full
