Tidak ada yang istimewa dari perahu itu. Panjang, ramping, meluncur di atas Sungai Singingi seperti biasa. Di ujungnya, seorang bocah berdiri sambil menari. Tidak dengan gerak pasti, tidak dengan koreografi, tapi dengan tubuh yang percaya bahwa kegembiraan bisa tumbuh tanpa alasan.
Saat seseorang mengunggah video itu dan menambahkan lagu “Young n Black” sebagai latar, dunia melihatnya. Bocah itu pun tetiba viral. Dan entah bagaimana, bukan hanya Rayyan yang viral—lagu itu pun ikut meledak. Diputar ulang di mana-mana, digunakan ribuan kali, ditarikan kembali oleh tubuh-tubuh lain di panggung yang lebih besar: stadion, paddock F1, ruang ganti pemain sepak bola.
Tarian yang sederhana itu lantas diberi nama: aura farming. Istilah baru yang lahir dari ruang digital. Menandai cara seseorang memancarkan daya tarik bukan lewat tampilan yang direncanakan, melainkan melalui kehadiran yang utuh dan jujur.
Rayyan Arkan Dhika tidak tahu soal itu. Ia hanya bocah sebelas tahun dari desa kecil di Kuantan Singingi. Hari itu, ia baru saja tampil dalam lomba Pacu Jalur. Ia bukan peserta pendayung. Ia berdiri di ujung perahu sebagai Togak Luan, si penari. Tugasnya bukan memenangkan perlombaan, tapi membakar semangat para pendayung.
“Gerakannya saya buat sendiri,” katanya kepada BBC. “Spontan saja.”
Dan justru dari spontanitas itulah, tubuh kecil itu menjadi pesan. Bahwa di tengah dunia yang penuh pencitraan, ada sesuatu yang tetap hidup dalam yang lugu. Bahwa ekspresi yang jujur—meski hanya menari di ujung perahu—masih bisa menggugah dunia.
Aura Farming
Aura farming bukan tentang pencitraan. Ia adalah istilah reflektif yang digunakan untuk menggambarkan pancaran orisinalitas yang lahir dari ketulusan. Dalam studi tentang budaya viral digital, Diana Zulli dan David Zulli (2020) menyebut bahwa konten yang paling berdampak sering kali bukan yang paling teknis, melainkan yang memiliki emotional resonance—daya gugah yang terasa nyata dan tak dibuat-buat.
Aura farming tumbuh dari tanah tempat seseorang berpijak, dari budaya yang membesarkan, dari cara seseorang hadir apa adanya. Dan justru karena itu, ia memikat.
Fenomena bocah Kuantan Singingi [Kuansing] ini adalah contoh paling murni. Ia tidak menari demi algoritma. Ia tidak tahu soal “engagement rate” atau “watch time.” Tapi ia menggetarkan dunia maya karena auranya tidak bisa dipalsukan. Tidak semua viralitas bisa direncanakan. Beberapa muncul dari tanah dan air yang memberi energi tersendiri—itulah yang kita saksikan di atas Sungai Singingi.
Kita hidup di zaman di mana produksi konten sangat mudah: cukup kamera ponsel dan sinyal internet. Ditambah dengan kehadiran kecerdasan artifisial (AI), kini siapa pun bisa mengedit video, menambahkan teks, membuat sound remix, bahkan menganalisis waktu tayang terbaik dalam hitungan detik. Tapi justru di tengah kepraktisan itu, konten yang memancarkan aura jujur dan lokal menjadi lebih langka—dan karenanya lebih berharga.
Video bocah Kuansing itu tidak hanya mengundang senyum. Ia menyentuh sesuatu yang lebih dalam: kerinduan akan kesederhanaan, terhadap ekspresi yang tak dikendalikan strategi pemasaran. Di sinilah kita melihat bahwa teknologi bukanlah musuh budaya, melainkan media yang—jika dipakai bijak—bisa menjadi jendela Indonesia ke dunia.
Autentisitas Kuansing
Indonesia dengan lebih dari 17.000 pulau, 700 bahasa daerah, dan ratusan tradisi, sebenarnya adalah ladang aura yang sangat subur. Dari ujung Aceh hingga Papua, ekspresi kebudayaan hadir dalam bentuk tarian, musik, bahasa tubuh, maupun gaya berpakaian yang semuanya memiliki aura tersendiri. Setiap gerak dan ritme lokal adalah potensi konten yang tak hanya bisa mendidik dan menghibur, tetapi juga memperkaya narasi Indonesia di mata dunia digital.
Menurut UNESCO (2021), ekonomi kreatif masa depan bertumpu pada pelestarian ekspresi budaya lokal yang otentik dan terdesentralisasi. Bukan yang dibuat-buat, tapi yang mengakar dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Tapi selama ini, banyak dari pancaran itu tenggelam karena tak terdokumentasi atau kalah dalam percakapan digital. Fenomena bocah Kuansing ini harus dibaca bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi sebagai alarm: bahwa kita punya kekayaan budaya yang, jika dikemas dan disosialisasikan dengan cara otentik, bisa jadi magnet perhatian dunia.
Bayangkan jika setiap kampung punya satu cerita yang jujur dan hidup. Bayangkan jika ekspresi budaya direkam dengan cinta, lalu disebar lewat platform digital yang sekarang begitu terbuka. Tak perlu menunggu tim produksi besar. Yang kita butuhkan adalah kesadaran untuk merawat aura kita sendiri.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seharusnya tidak melewatkan sinyal ini. Di era “content is king,” yang dibutuhkan pariwisata bukan hanya brosur dan baliho, melainkan narasi yang hidup dan membumi. Ada begitu banyak kota di dunia yang memoles dirinya dengan berbagai cara, menciptakan lanskap buatan demi membangun citra budaya yang sesungguhnya tidak otentik.
Dalam studi tentang place branding, Govers & Go (2009) menegaskan bahwa kota-kota global cenderung membangun citra artifisial demi kompetisi ekonomi dan pariwisata, sering kali mengorbankan keaslian budaya yang justru merupakan daya tarik utamanya. Sebaliknya, Kuansing tampil dengan jati dirinya sendiri—tanpa polesan, tanpa rekayasa, tapi justru karena itu tampak kuat dan berkarakter.
Bocah Kuansing menari itu bisa jadi wajah baru pariwisata Riau: sebuah daerah yang tidak mencoba meniru Bali atau Jakarta, tapi tampil dengan jati diri sendiri. Maka, aura farming bukan hanya tentang individu. Ia bisa menjadi strategi kolektif—cara daerah, komunitas, bahkan bangsa ini untuk memanen daya tarik dari keasliannya sendiri. Ketika dunia jenuh dengan konten artifisial, Indonesia bisa hadir sebagai oase: segar, jujur, dan penuh jiwa.
Fenomena anak kecil menari di atas perahu mungkin terlihat sepele. Tapi dalam keheningan Sungai Singingi, ia membawa pesan kuat: bahwa dunia digital masih bisa disentuh oleh sesuatu yang nyata. Dan bahwa aura, jika dirawat, bisa mengalahkan algoritma.
Mungkin kita sedang memasuki era baru: bukan lagi era influencer, melainkan era aurafluencer—orang-orang yang tak perlu bicara banyak, tapi kehadirannya membuat orang percaya.
Mari kita rawat ekspresi-ekspresi budaya yang lahir secara jujur dan tak terduga. Bukan untuk menjadikannya tontonan semata, tapi untuk memastikan bahwa aura keaslian dari kampung-kampung Indonesia tetap bersinar. Karena dalam derasnya arus konten digital, yang akan bertahan bukan yang paling ramai, tapi yang paling tulus dan menggetarkan.
Diterbitkan kumparan.com pada 14 Juli 2025
https://kumparan.com/muhammadmuchlasrowi/aura-farming-bocah-di-ujung-perahu-25STZ6S1bzY/full
